Hasil tambang yang dilakukan PT Freeport memberikan keuntungan yang sangat besar bagi PT Freeport. Pada tahun 2005 PT Freeport Indonesia memperoleh keuntungan sekitar 4.2 miliar dollar (sekitar 42 triliun rupiah). Dengan keuntungan sebesar itu seharusnya Indonesia juga memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun, pada kenyataannya hingga tahun 2005 Pemerintah Indonesia hanya memperoleh royalti sebesar 2 triliun rupiah setiap tahunnya atas kepemilikan saham PT Freeport sebesar 9.36%. -Detik
Sejarah Singkat Freeport Indonesia
November 1936: Jean Jaques Dozy menemukan Erstberg (gunung biji).
Juni 1963: Ekspedisi Freeport dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint mengeksporasi Erstberg.
Mei 1963: Irian Jaya bersatu dalam negara kesatuan RI
Maret 1966: Pemerintah memberi konsesi kepada PT Freeport Mc MoRan
Juni 1966: Wakil-wakil Freeport ke Jakarta membicarakan prospek penambangan Ertsberg
Oktober 1966: Rancangan Kontrak Karya disetujui
7 April 1967: Penandatanganan Kontrak Karya I, dengan luas wilayah 10 km2 dengan lama konsesi 30 tahun
Desember 1967: Pengeboran eksplorasi dimulai di Gertsberg
Desember 1972: Pengapalan perdana 10.000 ton tembaga ke Jepang
Juli 1976: Indonesia mendapat saham 8,5 persen saham Freeport
1988: Ditemukan cadangan bijih tembaga - emas di Grasberg. Jumlah deposite diperkirakan 200 juta ton. Saham PT FI meningkat.
1988-1984 (1988-1994?): Proses negosiasi Kontrak Karya dimulai, setelah usulan FI untuk memperpanjang Kontrak Karya I ditolak pemerintah.
Desember 199 (1995?): Penandatanganan Kontrak Karya II oleh pemerintah RI. Masa konsesi 30 tahun. Bakri mulai membeli saham perusahaan setelah pemerintah Indonesia tidak mau membelinya.
1996: Pengajuan penambahan produksi hingga 300 ribu ton per hari.
Agustus 1997: Ujicoba peningkatan produksi sampai akhir 1997 - 1998
Peningkatan produksi disetujui, royalti emas dan tembaga meningkat
Freeport: Keuntungan Asing vs Kesejahteraan Rakyat
Munggaran Satya Nugraha - suaraPembaca
Hasil tambang yang dilakukan PT Freeport memberikan keuntungan yang sangat besar bagi PT Freeport. Pada tahun 2005 PT Freeport Indonesia memperoleh keuntungan sekitar 4.2 miliar dollar (sekitar 42 triliun rupiah). Dengan keuntungan sebesar itu seharusnya Indonesia juga memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun, pada kenyataannya hingga tahun 2005 Pemerintah Indonesia hanya memperoleh royalti sebesar 2 triliun rupiah setiap tahunnya atas kepemilikan saham PT Freeport sebesar 9.36%. Dalam siaran pers resmi PT Freeport Indonesia menyatakan telah memberikan manfaat langsung kepada Pemerintahan Indonesia sebesar 1.8 miliar dolar AS pada tahun 2007.
Apabila hal tersebut benar dan pengelolaan dana tersebut dilakukan secara benar oleh pemerintah Indonesia seharusnya perekonomian masyarakat di Papua mengalami peningkatan. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini masyarakat Papua masih mengalami kesulitan ekonomi.
Menurut statistik pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Papua berjumlah 760.350 orang dari jumlah penduduk 2.056.500. Selain itu adanya kasus kelaparan yang menyebabkan meninggalnya hampir 100 orang di Yahukimo semakin memperjelas adanya kesenjangan sosial antara pekerja asing di PT Freeport dengan penduduk pribumi.
Hal ini sangat bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 pada ayat 2 yang menyebutkan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara", dan pada ayat 3 disebutkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Kesenjangan sosial yang terjadi di sekitar pertambangan Freeport Indonesia berdampak pada konflik yang terjadi di daerah sekitar lokasi pertambangan. Konflik tersebut diawali dengan aksi protes mahasiswa Papua yang menuntut penutupan PT Freeport Indonesia hingga berlanjut kepada aksi-aksi kekerasan seperti penculikan terhadap pegawai PT Freeport Indonesia.
Pemerintah seharusnya dapat mengatasi masalah-masalah tersebut melalui peraturan-peraturan yang ditetapkannya. Jauh dari itu apabila pemerintah mampu mengelola SDA yang ada di Papua dan di Indonesia masyarakat Indonesia akan hidup lebih sejahtera.
Selama ini banyak kekayaan alam yang seharusnya dapat menjadi pemasukan negara dan dapat mensejahterakan rakyat diambil alih oleh pihak asing. Mereka cenderung mengeksploitasi sumber daya alam kita untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Prinsip ekonomi memang mengajarkan kita untuk bertindak dengan menggunakan modal yang sedikit untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Tapi, hal tersebut bukan berarti kita boleh mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Potensi alam Indonesia sangat melimpah. Seharusnya kita menyadari itu dan berusaha untuk mengelola sumber daya alam tersebut dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selain itu apabila kita dapat mengelola potensi alam kita sendiri secara bijaksana tentu hal tersebut akan berdampak pada membaiknya perekonomian Indonesia. Sudah saatnya berubah.
Munggaran Satya Nugraha
School of Business and Management ITB Bandung
munggaran.drivaza@gmail.com
02293794080
Kutipan:Detik.com
makasih atas infonya :)
BalasHapus