selamat datang
Selamat datang di blog pribadi saya
Semua entri boleh dibaca dan terbuka untuk umum. untuk berbagi berita, cerita dan pengalaman.
semoga dapat membantu dan menghibur anda semua
Semua entri boleh dibaca dan terbuka untuk umum. untuk berbagi berita, cerita dan pengalaman.
semoga dapat membantu dan menghibur anda semua
Jumat, 23 Juli 2010
Sejarah irianjaya/papua
Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.
Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan.
Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut. Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berada di luar peradaban Indonesia yang modern, karena mereka tidak mungkin untuk melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang lebih jauh.
Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua, menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua.
Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, dimana tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Didalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.
Dalam catatan yang tertulis didalam kitab Negara Kertagama, Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520). Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365. Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, namun hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada dibawah kontrol kekuasaan kerajaan Majapahit. Selama berabad-abad dalam paruh pertama millennium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, dimana hubungan tersebut bukan hanya sekedar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.
Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang terserak didalam kawasan Papua. Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keaneka-ragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dimana dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 diantara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak difahami antara satu dengan yang lainnya.
Beragamnya bahasa diantara sedikitnya populasi penduduk tersebut diakibatkan karena terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad yang disebabkan oleh kepadatan hutan dan juga jurang yang curam yang sulit untuk dilalui yang memisahkan mereka, oleh karena itu sekarang ini ada sebanyak 234 bahasa pengantar di Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara asli. Banyak dari bahasa ini hanya digunakan oleh 50 atau kurang pemakainya. Beberapa golongan kecil tentang ini sudah punah, seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua pembicara dan Mapia yang hanya digunakan oleh satu pembicara.
Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa didalam melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu, versi pasar.
Perubahan Ekonomi Menghilangkan Budaya Masyarakat Papua
Saat banyak sagu ditebang dengan bebas tanpa dilarang. Tindakan ini dilakukan demi susksesnya pembangunan di suatu daerah. Hal tersebut saat ini marak terjadi diantara masyarakat. “Masyarakat ijinkan saja sagu ditebang tanpa berpikir panjang,” kata Muchlis di Abepura, Senin (25/1). Tindakan ini dilakukan tanpa memikirkan generasi akan datang. Padahal pohon sagu tersebut merupakan makanan pokok bagi orang Papua. Orang Papua lebih banyak dibesarkan oleh para orang tua yang telah mendahului mereka dengan sagu.
Hal ini mengakibatkan, lanjut dia, pola makan masyarakat berubah secara tiba-tiba. Masyarakat sudah tidak lagi mencintai makanan pokoknya yakni sagu. Mereka (masyarakat) meninggalkan pola makannya dengan beralih ke makanan yang serba instant dan cepat, tanpa memasak dan berupaya untuk masak. Mereka dimanjakan dengan makanan siap saji yang telah banyak tersedia. Misalnya, supermi, pop mie, dan makanan siap saji lainya. “Padahal kalau makan sagu atau papeda itu enak skali. Apa lagi ditambah dengan ikan,” tandasnya. Dia mengatakan, selain pola makan berubah, perilaku masyarakat juga ikut berubah. Masyarakat yang dulunya rajin menokok sagu atau berburu ke hutan saat ini sudah tidak melakukannya lagi. Kebiasaan mereka semakin bergeser jauh dari para leluhurnya. Hal-hal ini dinilai sangat berbahaya bagi generasi muda mendatang. Generasi muda dengan sendirinya akan melupakan makanan pokoknya bahkan diperparah lagi tidak bisa mengkonsumsi makanan pokoknya.
“Ini perlu diperhatikan bersama, baik pemerintah maupun masyarakat,” paparnya. Perubahan pola makan ini akan menimbulkan berbagai macam penyakit yang bermunculan ditengah masyarakat. Diantaranya, malaria, HIV/AIDS, kusta dan lainnya. “Dulu tidak banyak penyakit, masyarakatnya sehat-sehat,” katanya. Padahal hidupnya sangat sederhana dan penuh keterbatasan. Pola makan mereka masih alamiah yakni banyak bergantung pada alam. Lelaki yang baru lima hari mengabdi di BPS Kota Jayapura ini menuturkan, perubahan lainnya yang juga mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat adalah perubahan teknologi, perubahan pendidikan, pola pembangunan, dan kemajemukan penduduk. Suasana ini semakin memacu sekaligus memaksa masyarakat untuk cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Sehingga masyarakat sudah tak lagi memusingkan dirinya dengan kerabatnya. Padahal kekeluargaan, kesatuan dan kerukunan yang dibangun oleh para orang tua pada zaman sebelum reformasi sangat kuat. Kesatuan dan kerukunan disuatu daerah dijaga dengan baik.
Masyarakatnya sangat ramah dan sopan, terbuka bagi siapa saja. Namun setelah reformasi, kebiasaan baik ini ditelan waktu dengan cepat. Bagi dia, disatu sisi perubahan itu baik bagi masyarakat. Namun disisi lain perubahan tersebut memporak-porandakan kehidupan masyarakat. Selain itu, hadirnya sebuah pembangunan bisa merusak alam sekitar tempat dimana proses pembangunan itu berlangsung. Ia berharap, pemerintah perlu menyeimbangkan pola pembangunan yang dilakukan dengan alam sekitar tempat dimana pembangunan dilaksanakan. Dengan demikian, maka tak menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar